JAVANEWS.ID-Dalam 1-2 bulan terakhir warga Kota Semarang sibuk membuat Taman Obat Keluarga (Toga). Kegiatan itu bisa ditemui di setiap sudut kota mulai tingkat RT. Toga harus ada dan dibuat, meski di wilayah sebuah RT hanya memiliki lahan sisa 1×2 meter. Pemicu euporia warga Kota Lunpia itu tak lain karena adanya dana yang dikucurkan Pemkot sebesar Rp 3 juta untuk PKK RT. Info yang beredar dana tersebut sesungguhnya untuk dua kegiatan, yakni pembuatan Toga dan Bank Sampah.
Karena euporia dadakan itu, Toga yang sesungguhnya bertujuan mulia, berubah wajah. Ia cenderung menjadi semacam poster impian pemerintah: hijau, sehat, mandiri, dan sangat fotogenik ketika diresmikan. Toga dipuja sebagai simbol kemandirian kesehatan dan kearifan lokal. Namun sebagaimana nasib banyak program yang lebih dulu diluncurkan dengan semangat dan spanduk besar, Toga kerap kali layu sebelum berkembang.
Gerakan membuat Toga bisa mengubah pekarangan-pekarangan rumah di Kota Semarang dipenuhi tanaman empon-empon seperti jahe merah, kunyit, kencur, serai, daun mint, hingga daun sirih. Keberadaan tanaman, itu akan memudahkan warga jika mengalami batuk ringan karena tinggal mencabut dua rimpang dan merebusnya dengan penuh gaya herbal modern. Secara teoritis, Toga bisa menjadi garda terdepan kesehatan preventif dan penghematan pengeluaran rumah tangga.
Data menunjukkan, penggunaan obat tradisional atau herbal di Indonesia sangat luas. Survei nasional 2018 mencatat bahwa 44,2% rumah tangga memanfaatkan layanan kesehatan tradisional, naik dari 30,1% pada 2013. Berdasarkan penelitian, sebagian besar masyarakat menggunakan obat herbal untuk swamedikasi, terutama untuk penyakit ringan seperti flu atau batuk. Sementara badan kesehatan PBB, World Health Organization (WHO), menyebut sekitar 80% penduduk dunia menggunakan obat herbal/tradisional.
Data itu menunjukkan bahwa Toga sebagai sumber tanaman obat di pekarangan rumah, memang memiliki basis sosial budaya yang cukup kuat. Jika dikelola dengan benar, ia bisa menjadi bagian nyata dari strategi kesehatan preventif dan kemandirian masyarakat.
Dari sisi edukasi, Toga bisa menjadi pusat edukasi komunitas dimana warga belajar mengidentifikasi, menanam, merawat, dan meracik herbal sendiri yang bisa berujung berkurangnya ketergantungan masyarakat terhadap obat komersial. Selain itu, potensi ekonomi muncul dengan pengembangan tanaman obat menjadi produk herbal, suplemen, atau olahan rumah tangga. Dengan begitu fungsi dan manfaat Toga lengkap yakni, menjadi alat pemberdayaan bukan hanya untuk kesehatan, tapi juga kemandirian ekonomi dan pelestarian kearifan lokal.
Sayangnya, sebagaimana kerap terjadi, niat indah dalam dokumen program, realitasnya sering berbelok arah. Kerap kita temui ada Toga bukan lagi sesuai namanya, yakni Taman Obat Keluarga, tetapi sudah berubah jadi Taman Obat Gambar Aja atau Taman Obat Gagal Arah. Hal ini terjadi karena ada Toga yang sekadar ada di poster, namun tak ditemukan di lapangan. Ada kelompok ibu-ibu yang semangat merawat tanaman, tetapi setelah dua bulan, datang musim kemarau, hama, dan kesibukan ibu-ibu PKK yang dipadati rapat ke sana ke mari. Itu masih ditambah lokasi tanamnya dipilih hanya demi dekorasi lomba bukan karena cocok untuk tanaman itu sendiri.
Masalah lainnya adalah keberlanjutan. Toga sering dimulai dengan distribusi bibit dan pelatihan, lalu ditinggalkan begitu saja. Tidak ada pendampingan, tidak ada pembelajaran berkelanjutan, tidak ada dukungan untuk mengolah hasil panen menjadi produk bernilai ekonomi. Akibatnya, jadilah Toga yang bisa dijadikan gerakan massal berubah menjadi program musiman, hidup seminggu menjelang lomba, mati sebulan setelahnya.
Program Publik
Ketika Toga dijadikan program publik dengan balutan kerinduan akan citra sehat, rukun, dan modern, saat itulah kesungguhan penggarapannya jadi ala kadarnya. Ketika pemerintah daerah atau kelurahan menggalakkan Toga dalam bentuk program massal, sering ada dorongan kuat untuk merapikan lingkungan sebatas untuk foto, laporan, audit, atau penilaian formal. Penanaman diburu, pengecatan pot dikejar, dan papan nama dibuat dengan rapi. Namun, tidak selalu berbanding lurus dengan konsistensi pemeliharaan. Dengan kata lain, Toga berubah fungsi menjadi ornamen politik yang mengesankan bahwa pemerintah peduli kesehatan dan lingkungan.
Banyak kasus dimana Toga yang berhasil muncul dan subur saat mendapat pendampingan eksternal, kemudian perlahan lenyap saat perhatian publik hilang. Studi di beberapa desa menunjukkan bahwa keberlanjutan Toga sangat bergantung pendampingan yang konsisten.
Sesungguhnya, banyak warga Kota Semarang yang sudah lama menanam empon-empon di teras rumah. Mereka tahu kapan kunyit siap panen, bagaimana jahe harus ditanam di tanah gembur, dan mereka bahkan punya resep keluarga yang diwariskan turun-temurun. Namun program formal sering kali tidak memanfaatkan kearifan ini. Yang terjadi justru proyek-proyek seragam yang tidak memberi ruang kreativitas lokal.
Toga bisa menjadi lebih dari sekadar pajangan. Ia bisa dikembangkan menjadi model ekonomi kecil skala RW, di mana hasil panen diolah menjadi simplisia, minyak atsiri, atau minuman herbal siap seduh. Kampung-kampung di Kota Semarang bisa membangun identitas misalnya Kampung Sereh, Kampung Jahe Merah, Kampung Kunyit Asam, dan seterusnya. Wisata edukasi herbal pun bisa tumbuh, bila ada keseriusan mengelola. Tetapi semua itu baru mungkin terjadi jika pemerintah tak berhenti hanya pada seremoni. Dukungan jangka panjang, pelatihan lanjutan, pendampingan, dan penguatan pasar adalah kunci agar Toga tidak sekadar program yang akan layu sebelum berkembang. (*)
*Fikri Bumantara, Editor Javanes.id












