Polisi Tidur: Dari New Jersey sampai di Kampung Pak Edy

Ilustrasi Polisi Tidur (AI)
Ilustrasi Polisi Tidur (AI)

JAVANEWS.ID-Perjalanan polisi tidur, Poldur alias gundukan jalan yang melintang di jalan kampung tempat tinggal Pak Edy di kawasan Pedurungan, Kota Semarang sungguh sangat jauh, dan panjang. Jauh, karena Poldur pertama kali dibangun di New Jersey, Amerika Serikat. Sangat panjang, karena secara usia pencegah laju pengendara kendaraan bermotor agar tak ngebut, itu sudah dibuat pada 1906.

Yang bikin bukan warga atas komando Pak Ketua RT, tetapi tukang bangunan, yang entah lupa atau disengaja tak dicatat namanya dalam sejarah.  Yang tercatat jelas, dan lekat dalam literatur sejarah justru peraih Hadiah Nobel bidang Elektromagnetik bernama Arthur Holly. Holly lah melakukan inovasi terus-menerus dari rancangan awal si tukang bangunan New Jersey, itu hingga tahun 1950 terwujudlah Poldur yang ideal. Rancangan Holly pertama kali dibikin di jalanan Universitas Washington, AS.

Jadi jelas, Poldur adalah ‘’barang impor’’, dan yang mempopulerkannya orang Inggris, lho, bukan warga Paman Sam alias Amerika Seringkat. Di negeri Raja Charales III, gundukan jalan itu beken disebut sleeping policemen yang secara literal memang berarti polisi tidur. Di sana, Poldur tidak dibuat di jalan kampung apalagi jalan raya, tetapi di kawasan industri, tempat parkir, dan permukiman privat.

Lalu kenapa orang Inggris lebih suka menyebutnya Sleeping Policemen, dan bukan Speed Bump? Speed bump itu fungsinya, sementara sleeping policemen itu barangnya. Begitu ada kebutuhan mendesak akibat merebaknya pembuatan Poldur di negeri ini, para pakar bahasa sigap bertindak. Seperti biasa, dan tanpa mau repot para pakar itu menerjemahkan langsung Sleeping Policemen, menjadi polisi tidur, dan segera juga memasukannya ke KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi III. Dijelaskan dalam kamus itu bahwa polisi tidur adalah permukaan bagian jalan yang ditinggikan melintang untuk memperlambat laju kendaraan. Kenapa pakar bahasa tak memilih menerjemahkan speed bump yang lebih tak mengandung konotasi ‘’merendahkan’’ polisi, hanya mereka saja yang tahu.   

Ketika di negara lain perbincangan tentang Poldur sudah lama lewat, sebaliknya di negeri ini terus jadi perbincangan, dan tak jarang jadi pemicu keributan. Pasalnya, tak lain karena nyaris tiap jalan kampung terdapat Poldur, bahkan jalan selebar 1 meter pun tak mau ketinggalan. Pokoknya, Poldur hadir dengan penuh percaya diri. Beruntung keberadaannya tak masuk dalam Google Maps. Peta digital itu hanya memberi tanda tanjakan dan turunan.

Boleh percaya, juga boleh tidak percaya. Poldur yang ada di kampung-kampung itu bukan sekadar pengendali kecepatan. Tetapi telah berevolusi menjadi ekspresi budaya, simbol kedaulatan RT, dan bukti bahwa partisipasi warga bisa melampaui kewenangan negara. Satu hal lagi, Poldur juga potret kegagalan Polisi dalam menyosialisasikan tertib dan etika berkendara.

Ketika mulai membuat, niatnya untuk pengendara yang lewat tak ngebut. Bisa jadi juga awalnya hanya ingin membuat 2-3 Poldur saja, namun lama-lama kelamaan dirasa kurang. Akibatnya, jadilah jalan kampung menjadi seperti bak lintasan off-road. Mobil pelan tetap menghentak, motor pelan tetap nyaris terjungkal. Ojek online dipaksa belajar ilmu titen yakni membaca karakter dari jauh, apakah Poldur yang akan dilalui tipe ramah suspensi atau pembunuh sokbreker.

Jika di negara lain pembuatan Poldur tak boleh dilakukan sembarang orang, bahkan sudah tak terdengar lagi masih ada yang bikin atau tidak, di negeri ini poldur selalu muncul lebih cepat daripada rambu lalu lintas. Maklum saja, rambu perlu anggaran, proposal, rapat, dan foto seremonial. Poldur cukup dibuat oleh tiga orang, satu cangkul, dan satu malam tanpa pengawasan. Pagi harinya, jalan sudah “diamankan”.

Akhir-akhir ini, Poldur punya ‘’anak didik’’ yang marak dibuat di jalan protokol sebuah kota, ia bernama  pita kejut. Pita kejut dibuat sebagai peringatan halus, Poldur di kampung justru memilih jalur shock therapy. Masalnya, pita kejut yang semula lumayan ramah suspensi, kini diitinggikan, ditumpuk, diperkeras. Tak ayal jika ada yang berujar bahwa pita kejut sudah menjelma menjadi pita nasib yang menentukan nasib kendaraan, dan nasib tulang belakang pengendara.

Apakah negara abai terhadap marak Poldur dan pita kejut? Tidak juga, karena sudah ada standar, dan aturan. Ada tinggi maksimal, kemiringan ideal, warna yang harus reflektif. Namun semua itu kalah sakti dengan kalimat: ‘’Warga kan sepakat.’’ Jangan salah, pada level warga kecil, ‘’sepakat’’ adalah kata sakral. Ia bisa mengalahkan sebuah undang-undang, menggeser kewenangan, dan mengubah jalan umum menjadi ruang eksperimen teknik sipil berbasis emosi. Semua ini bukan semata kesalahan warga. Ketika negara absen mengelola kecepatan secara beradab, maka warga mengambil alih.

Polisi tidur akhirnya menjadi simbol paradoks keselamatan, dipasang demi mencegah kecelakaan, tapi justru berpotensi mencelakakan. Dipuji sebagai solusi murah, tapi mahal di biaya perbaikan kendaraan. Dielu-elukan sebagai bentuk kepedulian, tapi sering lahir dari ketidaksabaran.

Baiklah. Yang kemudian perlu kita renungkan, apakah keselamatan lalu lintas harus selalu berbentuk tonjolan? Atau kita sebenarnya hanya sedang melampiaskan rasa kesal pada pengendara ngebut dengan cara yang paling konkret. Di negeri ini, kecepatan diatur bukan oleh kamera, bukan oleh patroli, melainkan oleh hukum gravitasi dan adukan semen. Selama itu masih dianggap wajar, maka polisi tidur akan terus berjaga, dan tidur di setiap jalan yang merasa butuh kekuasaan. Selamat berkendara, jangan lupa kendalikan laju kendaraan alias pelan-pelan. Sebab, ada polisi sedang tidur di jalan yang Anda lewati. (*)

Fikri BumantaraEditor Javanews.id