JAVANEWS.ID– Bisa jadi, di negeri ini ada empat hal yang hampir selalu pasti datang tiap tahun, yakni musim kemarau. Musim penghujan, kemacetan arus mudik/balik Lebaran, dan penghargaan untuk pemerintah daerah. Untuk yang terakhir itu, tahun ini Pemprov Jateng terkategori paling sering menjemput atau dijemput beragam jenis piala penghargaan. Itu dibuktikan dengan kemunculan sejumlah berita, baik di media cetak, online mau pun elektronik. ‘’Kerennnn, euy!
Sungguh sebuah fenomena menarik. Pada mulanya, penghargaan dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi objektif: ada kinerja, ada ukuran, ada pencapaian. Namun, lama-lama public pun bertanya-tanya: apakah penghargaan benar-benar tanda keunggulan, atau sekadar seremonial bisa saja. Betulkah sebuah penghargaan diberikan atas jerih payah dari sebuah kerja keras, atau sekadar bukti dari rajinnya humas mengisi formulir nominasi? Kita tak tahu pasti, yang pasti, berita dan fotonya selalu bagus.
Pemprov Jateng, seperti pemerintah daerah lain, tampaknya paham betul bahwa penghargaan adalah aset politik yang mengilap. Ia bukan sekadar piala, tetapi sebuah narasi, bahkan amunisi. Dalam panggung demokrasi elektoral, capaian-capaian semacam itu bisa menjadi konten yang lebih penting daripada data APBD. Sebab, rakyat cenderung lebih hafal beragam penghargaan yang diraih provinsi, daripada angka-angka serapan anggaran pemerintah.
Tentu, ada banyak hal baik yang memang dikerjakan pemerintah daerah, termasuk Jawa Tengah. Tetapi problemnya bukan pada apa yang dikerjakan, melainkan pada apa yang ditekankan. Publik tak jarang diperlakukan seperti audiens upacara yang harus bertepuk tangan meski belum melihat pertunjukannya. Kita diminta terkagum sebelum sempat memeriksa apakah lampu jalan sudah benar-benar menyala, apakah pelayanan publik makin cepat, dan sejenisnya.
Dalam beberapa kasus, penghargaan justru membuat pemerintah terjebak dalam ilusi performa: seolah-olah keteraturan acara seremonial sama dengan keteraturan lapangan. Padahal, masyarakat lebih peduli pada kelancaran layanan dasar daripada kelancaran sambutan saat menerima trofi. Sebuah provinsi bisa saja meraih “Pengelolaan Keuangan Terbaik,” sementara di desa-desa, warga masih harus antre berjam-jam untuk urusan administrasi yang mestinya sederhana. Ironi ini tidak asing di negara kita.
Tetapi mari kita tidak berhenti pada satire. Seperti semua humor yang baik, kritik harus membawa arah, bukan sekadar tawa getir. Pertama, sudah saatnya penghargaan publik disertai bukti konkret yang mudah diperiksa dan dirasakan masyarakat. Jika provinsi menerima penghargaan pelayanan kesehatan, maka transparansikan indikatornya seperti angka BOR, kecepatan layanan, keluhan pasien. Sebaiknya, janganlah sekadar merayakan hasil.
Kedua, pemerintah perlu menahan sedikit euforia. Penghargaan boleh dirayakan, tetapi jangan dijadikan headline yang menenggelamkan problem nyata. Sebab penghargaan itu ibarat foto profil yang warnanya cerah, tapi tidak selalu mencerminkan wajah sebenarnya.
Ketiga, masyarakat juga berhak terlibat. Bukan hanya lembaga penilai, tetapi publik harus diberi ruang menilai apakah penghargaan itu terasa di kehidupan sehari-hari. Apakah setelah piala itu pulang, pelayanan jadi lebih ramah? Jalan lebih halus? Data lebih terbuka? Atau semuanya tetap sama, hanya rak pajangan kantor pemerintahan yang bertambah penuh?
Penghargaan bukan sesuatu yang buruk. Ia seperti bumbu yang menambah rasa, memberi warna. Yang harus diwaspadai adalah ketika bumbu dianggap sebagai makanan itu sendiri. Pemprov Jateng tentu boleh bangga atas deretan piala yang didapat, tetapi kebanggaan itu akan jauh lebih kokoh bila publik merasakan hasilnya secara nyata.
Karena harga pasti sebuah penghargaan bukan pada nilai pialanya, bukan pada sorotan lampunya, melainkan pada perubahan yang benar-benar dirasakan orang banyak. Jika itu terpenuhi, masyarakat pun akan ikut bangga, tanpa perlu disuruh tepuk tangan. (*)
*Fikri Bumantara, Editor Javanews.id












