Dari Lamongan ke Semarang: Drama Rumah Tangga yang Mengguncang Liga 2

ilustrasi PSIS (AI Generated)
ilustrasi PSIS (AI Generated)

JAVANEWS.ID – DI tengah hiruk-pikuk Liga 2 Pegadaian Championship Indonesia 2025/2026 yang akan memasuki putaran kedua, sepak bola Indonesia kembali menyajikan drama ala sinetron keluarga.

Bukan soal gol-gol indah atau selebrasi ala samba, tapi soal hati yang tercerai-berai. Persela Lamongan, yang dulu dikenal sebagai benteng baja di Liga 2, kini lebih mirip rumah kosong pasca-libur Lebaran.

Pemain-pemainnya kabur satu per satu, meninggalkan stadion yang sepi bergema suara angin. Dan tujuannya? Tak lain tak bukan, pelukan hangat klub asal Semarang, PSIS. Seolah-olah Semarang bukan lagi kota yang terkenal akan rob dan banjir, melainkan surga bagi para pesepak bola haus kemenangan.

Semuanya bermula dari akhir November lalu, saat Datu Nova Fatmawati, seorang pengusaha asal Semarang yang kebetulan istri CEO Persela Fariz Julinar Maurisal, tiba-tiba membeli 74,2 persen saham PSIS.

Bukan belanja kecil-kecilan di pasar tradisional, ini saham mayoritas yang langsung menjadikannya bos besar Mahesa Jenar. Fariz, yang sebelumnya sibuk mengatur taktik di Lamongan, langsung angkat kaki dari kursi CEO-nya.

Alasannya? Mungkin bagi dirinya keluarga nomor satu. Tapi bagi mata awam seperti kita, ini terlihat seperti plot twist di film romantis, suami ikut istri pindah kerja, lengkap dengan janji manis soal masa depan cerah.

Hanya saja, di sini “pindah kerja” berarti meninggalkan klub yang sudah seperti anak sendiri. Persela, yang dulu bangga dengan julukan Laskar Joko Tingkir, kini ditinggal seperti mantan yang tak lagi punya cerita menarik.

Tak butuh waktu lama bagi rumor untuk bengubah jadi kenyataan. Dua minggu kemudian, dua pilar utama Persela, Wawan Pebrianto dan Ocvian Chanigio resmi mengemasi tas mereka.

Wawan, si sayap lincah yang pernah bikin bek lawan pusing tujuh keliling, dan Ocvian, gelandang tangguh asal Temanggung, kini sudah berlatih di kandang PSIS. Mereka datang tepat saat PSIS baru saja membersihkan skuadnya dari empat pemain lokal yang dianggap kurang cocok, seolah-olah Semarang sedang buka lowongan besar-besaran.

Ironisnya, keduanya pamit jelang latihan perdana putaran kedua Persela, meninggalkan pelatih dan rekan setim dengan wajah panjang seperti mie goreng kehabisan minyak. Esteban Vizcarra, gelandang naturalisasi yang juga ikut angkat kaki, menambah daftar panjang nama-nama yang sepertinya memilih angin Semarang.

Apa yang membuat Semarang begitu menggoda? Bukan cuma soal cuaca yang lebih adem atau lumpia yang lebih renyah, meski itu pasti jadi bonus. Ini soal uang dan ambisi, dua hal yang di sepak bola Indonesia selalu berjalan bergandengan seperti pasangan pengantin.

Datu Nova, sebagai pemilik saham mayoritas baru, langsung janji bikin PSIS bangkit dari dasar klasemen Liga 2. Bursa transfer Januari 2025 disebut-sebut sebagai momen kunci, di mana dana segar akan mengalir deras untuk rekrutmen besar-besaran.

Fariz sendiri, meski sudah mundur dari Persela, dikabarkan akan bantu tangani PSIS dari belakang layar. Sementara itu, di Lamongan, suporter mulai gelisah. Mereka yang dulu nyanyi-nyanyi penuh semangat kini lebih sering bertanya: “Mau diapain lagi klub ini?”

Manajemen Persela buru-buru bilang semuanya aman, tapi suara mereka terdengar seperti dokter yang bilang “cuma flu” saat pasien sudah demam tinggi.

Lalu, yang bikin cerita ini makin mirip dongeng kelam, eksodus ini tak berhenti di level manajemen atau pemain inti. Rumor bilang, beberapa staf backroom juga mulai lirik-lirik kontrak baru di Semarang.

Bayar gaji tepat waktu di PSIS jadi magnet kuat bagi siapa saja yang muak dengan janji manis tapi kantong kering. Persela, yang tampil cukup baik di awal musim, kini terancam jadi klub paling mengkhawatirkan.

Datu Nova, yang awalnya dilihat sebagai pahlawan karena investasinya, kini jadi simbol perpecahan. Dia bilang ini soal cinta pada kota kelahiran, Semarang yang melahirkan dirinya. Tapi bagi warga Lamongan, ini seperti tetangga yang pinjam garpu lalu tak kunjung balik, malah bawa seluruh peralatan dapur ke rumah sebelah.

Fariz, sang suami setia, malah tambah bikin pusing dengan pernyataannya: “Ini tak ganggu Persela sama sekali.”

Sementara itu, di Semarang, PSIS, yang dulu bergulat dengan masalah finansial, kini punya energi baru. Wawan dan Ocvian langsung disambut seperti pahlawan pulang kampung.

Kembali ke Lamongan, pelatih baru, atau siapa pun yang menggantikan Imran Nahumarury yang batal gabung, harus mulai dari nol. Mereka harus cari pengganti, tapi di mana? Pemain muda lokal? Sudah, tapi tak ada jaminan.

Ini mengingatkan kita bahwa sepak bola Indonesia bukan cuma soal lapangan hijau, tapi juga soal dompet hijau yang tebal.

Di akhir cerita, yang tersisa hanyalah harapan kecil: mungkin suatu hari Persela bangkit lagi, dengan investor baru yang tak punya saudara di Semarang. Tapi untuk sekarang, biarkan Semarang pesta dulu. Toh, di sepak bola, kemenangan satu tim sering berarti air mata tim lain.(Tulisan ini disempurnakan oleh AI)