Dua Wajah Birokrasi Kita

Ilustrasi (Kreasi AI)
Ilustrasi (Kreasi AI)

JAVANEWS.ID-Bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Dunia (Harkodia) pada 9 Desember lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis hasil survey penilaian integritas (SPI) yang dilakukan terhadap birokrasi nasional. Hasilnya menunjukkan dua hal sekaligus, yakni menumbuhkan harapan, dan mengkhawatirkan.

Menumbuhkan harapan karena nilai integritas berada pada angka 72,32poin, naik jika dibandingkan tahun 2024 yakni 71,53 poin. Mengkhawatirkan, karena pada saat bersamaan lembaga antirasuah itu juga merilis 95% responden mengaku pernah melihat pegawai layanan publik menerima uang, barang, atau fasilitas dari pengguna layanan. Itu belum cukup. Pada survey yang sama juga menghasilkan kejutan, yakni  sepertiga responden mempercayai bahwa keputusan di sebuah instansi bisa dipengaruhi oleh kedekatan pribadi, kekerabatan, atau almamater.

Pimpinan KPK mengakui bahwa poin 72,32 masih berada dalam kategori rentan. Kita tahu, rentan mengandung makna bermacam-macam. Yang pasti segala sesuatu yang rentan adalah rapuh, cepat patah, cepat pecah, dan sejenisnya. Rentan dalam konteks integritas bisa diartikan gampang diterobos kapan saja oleh godaan gratifikasi, suap, dan nepotisme. Karena itu, poin 72,32 bisa dinilai sebagai peringatan, dan bukan sepenuhnya penghargaan apalagi sesuatu yang membanggakan.

Seperti cermin menghasilkan bayangan, begitu pula dengan survei yang bayangannya juga bisa dikaburkan dengan beragam polesan make-up data. SPI boleh jadi alat penting asalkan dipakai secara jujur. Tapi kalau sekadar jadi alat legitimasi ia tak terlalu berarti. Karena itu, jika benar ingin negeri ini bebas dari  gratifikasi lakukan dengan perbaikan nyata, dan tidak berhenti pada penilaian yang hanya berhenti pada angka-angka. Dan, perbaikan nyata bukan soal kenaikan poin 0,79 setahun, tapi soal menghapus interval antara prosedur dan amplop, antara aturan dan pelicin.

Integritas sesungguhnya bukan semata urusan para birokrat atau pegawai saja. Masyarakat sebagai pengguna layanan publik ikut berperan menjadikan baik dan buruknya intpegritas mereka. Oleh sebab itu, publik juga dituntut peduli dan harus berani menuntut adanya transparansi prosedur pelayanan publik, dan yang paling penting adalah secara bersama-sama menolak memberi gratifikasi.

Harus diakui skor nasional SPI 72,32 poin adalah kemajuan. Tetapi tampak jelas perbaikan yang dilakukan terasa lambat. Beberapa faktor mendasar yang memengaruhi antara lain budaya layanan publik. Contohnya, ketika pemberian uang/barang dianggap wajar sebagai “ucapan terima kasih” atau “pelicin layanan”, maka gratifikasi jadi normal.

Lemahnya pengawasan internal dan eksternal juga berpengaruh nyata. Faktanya, menurut KPK pada awal tahun 2025 saja, lembaga itu sudah menerima ratusan laporan gratifikasi yang sebagian besar terindikasi tidak tertangani atau tak diselidiki serius. Kuatnya nepotisme dan jaringan kekerabatan dalam birokrasi adalah faktor lainnya yang juga berpengaruh. Fakta bahwa sepertiga responden menyebut keputusan bisa dipengaruhi kedekatan pribadi menunjukkan bahwa meritokrasi belum sepenuhnya berjalan.

Kita semua tahu, hal-hal tersebut di atas pasti berdampak negatif dan akan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap layanan publik. Bahkan bisa lebih berbahaya karena terjadi erosi kepercayaan publik terhadap aparatur negara, sistem pemerintahan, yang akan berujung melemahnya legitimasi negara.

Lalu apa yang perlu dilakukan, tak lain dan tak bukan adalah komitmen politik dan reformasi yang sesungguhnya. Hasil SPI 2025 harus dijadikan titik tolak untuk memperkuat integritas birokrasi. Penegakan regulasi dan sanksi nyata harus tanpa pandang bulu. Perkuat transparansi dan akuntabilitas layanan publik mulai dari prosedur layanan publik, tarif resmi, alur, dan dokumentasi layanan, yang kesemuanya itu akan mempersempit ruang untuk suap-menyuap atau pelicin.

Seperti yang kerap digaungkan dalam banyak kesempatan oleh para pemimpin atau pejabat di berbagai lapisan, budaya antikorupsi perlu terus digaung di internal instansi. Pemimpin hingga staf harus menjadi teladan. Pelatihan integritas, rotasi pejabat, audit secara rutin bisa membantu menciptakan sistem kerja yang bersih. Di sisi lain masyarakat harus diberi ruang dan jaminan keamanan yang cukup untuk melaporkan penyimpangan tanpa ada perasaan khawatir atau takut akan kemanan dan keselamatannya.

Terakhir, evaluasi berkala dan transparan hasil survei sperti SPI harus dipublikasikan secara terbuka, per instansi, agar warga bisa mengawasi. Perbaikan harus diukur bukan hanya di angka nasional, tapi di tingkat birokrasi lokal hingga institusi terkecil.

KPK melalui SPI 2025 telah menunjukkan, meski ada sedikit peningkatan skor, kondisi integritas birokrasi secara nasional masih jauh dari aman. Data  95% responden menyaksikan langsung penerimaan uang atau fasilitas merupakan  alarm keras bahwa gratifikasi dan praktik lama masih jauh dari hilang. Hasil ini seharusnya jadi peringatan, bukan justifikasi puas diri. Jika hanya menjadikan SPI sebagai statistik tahunan tanpa diikuti tindakan nyata, maka angka 72,32 hanyalah simbol kosong.

Pemerintah, birokrasi, dan masyarakat harus menjadikan SPI itu sebagai momentum reformasi dan perubahan nyata. Sebab hanya dengan itu penilaian tersebut akan bermakna. Memang, integritas tak bisa dibangun dalam tempo satu hari, namun ia bisa dimulai hari ini. (*)

*Fikri BumantaraEditor Javanews.id