Berita  

Beberapa Keluarga Kuasai Separuh Kekayaan Negara, Sisanya Berjuang untuk Sepiring Nasi

ilustrasi kemiskinan (AI Generated)
ilustrasi kemiskinan (AI Generated)

JAVANEWS.ID – DI Pasar Johar, Kota Semarang, pagi ini seperti biasa ramai. Ibu-ibu berdesak-desakan di depan lapak sayur, mata mereka melotot ke tumpukan cabai rawit merah yang tersisa segenggam.

Tanggal 12 Desember 2025, harga cabai rawit merah sudah menyentuh Rp 80.700 per kilogram, naik hampir 50 persen dari minggu lalu. Bukan cuma cabai; bawang putih Rp 40.000 per kilo, bawang merah Rp 38.000, daging ayam Rp 39.000/kg.

Yang selamat dari badai harga ini cuma telur ayam ras di Rp 25.000 per kilogram dan beras premium yang masih bertahan di Rp 16.000. Jelang Natal dan Tahun Baru 2026, dapur rumah tangga biasa jadi medan perang, di mana setiap potong cabai terasa seperti taruhan lotre.

Bukan rahasia lagi, musim libur akhir tahun selalu bikin harga lonjak-lonjak. Petani bilang panen terganggu cuaca buruk, pedagang sebut permintaan melonjak, pemerintah? Mereka bilang harga stabil.

Stabil seperti gajah di atas sepeda ontel, tentu saja. Bayar Rp 80 ribu untuk cabai yang biasanya cuma Rp 30 ribu, rasanya seperti membeli sepotong surga yang ternyata palsu.

Dapur rakyat kecil jadi korban pertama: nasi goreng tanpa cabai terasa hambar, sambal tanpa bawang seperti pesta tanpa tawa. Dan saat semua orang berebut stok terakhir, ada yang duduk santai di restoran mewah, memesan steak impor tanpa peduli harga.

Indonesia, negeri yang bangga dengan PDB tumbuh 5,04 persen di kuartal ketiga 2025, ternyata masih jadi juara dunia soal kesenjangan.

Koefisien Gini kita 0,381 pada 2024, angka yang menandakan distribusi kekayaan miring seperti sepeda tanpa rem. Lima puluh orang terkaya di Indonesia pegang harta senilai kekayaan 50 juta warga biasa, kata laporan Oxfam yang dirilis awal tahun ini.

Ketimpangan Sosial

Itu artinya, saat Bu RT di kampung di Wonogiri susah bayar Rp 80 ribu untuk cabai, ada segelintir keluarga yang harta mereka bisa beli seluruh pasar tradisional di Jawa Tengah. Keluarga-keluarga ini, sering disebut oligarki, bukan cuma kaya raya; mereka kuasai peta ekonomi kita seperti pemain monopoli yang tak pernah kalah.

Ambil contoh kebun sawit, raksasa hijau yang bikin Indonesia jadi salah satu pengekspor minyak sawit terbesar dunia. Kelompok seperti Sinar Mas milik keluarga Widjaja atau Salim Group pegang lahan luas, hasilkan triliunan dari CPO yang diekspor ke Eropa dan Asia.

Tahun ini saja, ekspor sawit capai 30 juta ton, untung bersih miliaran dolar. Tapi siapa yang panen? Bukan petani kecil di pinggiran hutan, yang gajinya tak cukup beli bawang putih untuk sahur puasa Senin-Kamis.

Ironinya, minyak sawit ini yang bikin gorengan kita naik harga, tapi keuntungannya mengalir deras ke rekening pribadi para penguasa. Lalu tambang: nikel, tembaga, batubara.

Keluarga seperti Lim Hariyanto Wijaya Sarwono lewat Harita Group kuasai tambang di Sulawesi, suplai baterai listrik global. Kekayaan mereka melonjak seiring boom kendaraan listrik, sementara warga sekitar tambang masih bergulat dengan air keruh dan tanah gersang.

Dan jalan tol? Ah, itu cerita favorit. Kelompok Bakrie atau Jasa Marga punya jaringan tol yang bikin perjalanan Jakarta-Bandung lancar, tapi bayar tol Rp 100 ribu sekali jalan? Itu setara dengan biaya kebutuhan hidup satu keluarga di Rembang, Jawa Tengah.

Total, segelintir keluarga ini kuasai lebih dari separuh kekayaan nasional, dari sawit sampai infrastruktur, kata analisis dari Institute for Development of Economics and Finance.

Hiperbola? Mungkin, tapi lihat saja pesta Natal mereka. Saat kita hitung receh untuk beli daging sapi Rp 120 ribu/kg, mereka pesan koki bintang lima untuk hidang steak tenderloin dengan sajian khas Eropa. Ditemani sebotol wine kualitas bagus.

Dompet kita tipis seperti kertas tisu basah, dompet mereka tebal seperti buku telepon era majalah. Seorang pengusaha sawit di Medan, katanya, beli jet pribadi baru tahun ini, harganya Rp 500 miliar.

Itu setara dengan 6.000 kilogram cabai rawit—cukup untuk bikin sambal yang siap disajikan ke seluruh warga Jawa Tengah. Ironi terbesar, pemerintah bilang harga stabil jelang Nataru, tapi survei di pasar Bandungan, Kabupaten Semarang tunjukkan cabai keriting naik 47 persen dalam seminggu.

Stabil untuk siapa? Untuk yang tak pernah ke pasar, mungkin. Bagi 28 juta warga miskin, data BPS 2025, kenaikan ini bukan sekadar angka. Itu berarti anak tak makan sayur, atau Natal tanpa kue kering. Sementara oligarki bangun mall baru di Bali, lengkap dengan helipad untuk helikopter pesta.

Cerita ini tak berhenti di pasar atau tambang; ia merembet ke meja makan keluarga kita.

Saat bawang merah Rp 38 ribu bikin mata perih bukan cuma karena baunya, tapi karena dompet yang ikut menangis. Kita sadar betapa rapuhnya keseimbangan.

Beberapa keluarga kuasai separuh kekayaan, tapi sisanya? Berjuang untuk sepiring nasi.

Ekspor sawit untung besar, tapi petani lokal tak kebagian rempah. Tambang kaya mineral, tapi warga pinggiran tak punya akses air bersih. Tol mulus, tapi biayanya bikin perut mules. Semua ini seperti pesta di mana undangan cuma untuk VIP, dan kita? Penonton di pinggir jalan, pegang tiket abal-abal.

(Tulisan ini disempurnakan oleh AI)