Program Tak Jalan, ASN yang Harus Urunan

ilustrasi ASN (AI Generated/Gemini)
ilustrasi ASN (AI Generated/Gemini)

JAVANEWS.ID – Menjadi ASN di Kota Semarang belakangan ini bukan hanya soal tanda tangan berkas atau pelayanan kepada masyarakat. Ada tambahan peran baru, yaitu donatur sosial.

Pemerintah Kota Semarang meluncurkan gerakan “ASN Peduli Pekerja Rentan”, di mana setiap ASN diminta menyisihkan sebagian penghasilan untuk membayari iuran BPJS Ketenagakerjaan para pekerja rentan.

Secara konsep, kebijakan ini terdengar mulia. Pekerja informal memang rentan jatuh miskin ketika sakit atau kecelakaan. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan masih banyak pekerja informal belum terlindungi. Jadi, ASN diminta jadi jaring pengaman sosial.

Namun, di lapangan, ASN merasa seperti tokoh utama dalam drama “Abdi Negara, Abdi Iuran.” Gaji yang sering disebut cukup untuk hidup sederhana harus dipotong lagi.

Rasanya mirip makan nasi di kucingan tapi diminta mentraktir orang asing yang sedang makan di situ hanya karena pakaian berwarna khaki yang melekat di badan saat itu.

Entah Pemkot Semarang tahu atau tidak, bahwa ada PPPK Paruh Waktu yang gajiannya otomatis sudah autodebet digunakan untuk membayar cicilan rumah, dikirimkan ke orang tua di kampung, membayar les anak atau kebutuhan lainnya.

Ataukah hitung-hitungan Pemkot Semarang dengan memberikan gaji UMK plus sedikit sudah dianggap mampu menghidupi dengan layak untuk satu keluarga.

Belum selesai. Ada pula kewajiban menjadi anggota koperasi Merah Putih. Padahal, menurut Undang-Undang Perkoperasian, keanggotaan koperasi itu bersifat suka rela.

Menjadi anggota koperasi pastinya akan mengeluarkan biaya lagi, simpanan pokok dan simpanan wajib.

Pemkot bisa saja berdalih bahwa kedua program ini hanyalah “sunnah” bagi para ASN. Tidak ada pula reward dan punishment yang jelas soal program ini kepada ASN.

Namun dengan intervensi dari kepala OPD dan kabidnya yang sedang ingin cari muka ke pimpinan, tentu saja akan membuat bawahan mereka terpaksa mematuhinya.

Tetap ada niat baik dari Pemkot Semarang yang tak bisa diabaikan. Pemerintah ingin memperluas perlindungan sosial. Tetapi solidaritas sejati lahir dari kesukarelaan, bukan dari surat edaran. ASN yang tadinya mau ikhlas bisa berubah sinis ketika merasa “dipaksa”.

Kedua program tersebut idealnya memang dijalankan murni dari masyarakat ke masyarakat. Siapa mau membantu siapa, siapa mau berbisnis dengan siapa.

Tetapi semangat itu tak mudah karena masyarakat sedang berjibaku dengan dirinya sendiri memenuhi kebutuhannya.

Menggerakkan ASN kemudian jadi jalan pintas karena merekalah lumbung yang bisa diperintah atasan dengan mudah untuk menjalankan program. Toh, BPJS Ketenagakerjaan dan Koperasi Merah Putih adalah program pemerintah.

Jika berkumpul dengan daerah lain di event nasional, Kota Semarang bisa berbangga karena program pemerintah pusat berjalan dengan baik, tanpa mereka tahu bahwa ASN yang diminta menjadi bahan bakarnya.

Kepala daerah sebenarnya punya opsi kreatif. Alih-alih membebankan ASN, bisa saja menggandeng perusahaan lewat program Corporate Social Responsibility (CSR). Banyak perusahaan besar di Semarang yang punya dana CSR untuk kegiatan sosial.

Jika diarahkan ke pembayaran iuran BPJS pekerja rentan, beban ASN berkurang, pekerja informal tetap terlindungi, dan perusahaan mendapat citra positif. Semua pihak untung, tanpa ada yang merasa jadi korban kebijakan.

Kalau Pemkot pintar menggandeng CSR, ASN tidak perlu jadi ATM berjalan. Perusahaan bisa jadi sponsor, ASN tetap fokus bekerja, dan pekerja rentan tetap punya jaminan. Semua senang, tidak ada yang merasa seperti dipaksa ikut kuis berhadiah minus saldo.