Sarung, Sarungan, Disarungi

Sarung, Sarungan, Disarungi (Ilustrasi AI)
Sarung, Sarungan, Disarungi (Ilustrasi AI)

JAVANEWS.ID – Sarung nyaris menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Ia mungkin tidak selalu terlihat, tetapi keberadaannya tetap setia seperti kipas angin murah yang terus bekerja meski bunyinya sudah seperti helikopter. Sarung selalu ada di lemari, ditarik keluar ketika dibutuhkan, lalu kembali dilipat seperti rahasia keluarga.

Sarung itu unik. Ia bukan sekadar jenis pakaian. Pasalnya, dengan mengenakan sarung, seseorang bisa menjadi apa saja: pemuka agama, santri, pendekar, orang ngantuk atau baru bangun tidur, juga bisa dikenakan bapak-bapak sembari menyapu halaman rumah atau jalan. Tidak ada pakaian lain yang begitu sefleksibel sarung dimana bisa dipakai untuk santai, saat acara resmi -dengan catatan lipatannya rapi.

Sarung adalah demokrasi tekstil: satu ukuran untuk semua, tidak ada batas jabatan, tidak ada kasta, dan tidak memihak siapa pun kecuali kenyamanan. Melihat dan mengenakan sarung membuat ingatan tertuju pada kenyataan bahwa hidup ini tak serumit kancing baju. Kadang yang kita butuhkan hanya kain selembar dan ruang untuk bergerak.

Dalam statusnya seperti itu, Pemprov Jateng lewat Wakil Gubernur Taj Yassin mengabarkan kebijakan baru terkait seragam Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov wajib mengenakan sarung tiap hari Jumat. Tak pelak lagi, kelak jika kebijkan itu diberlakukan, tiap Jumat Kantor Gubernur Jateng yang terletak di Jalan Pahlawan Semarang plus OPD lainnya akan semarak dengan pegawai sarungan. Rutinitas birokrasi yang selama ini resmi, jika tak boleh dibilang kaku, berubah menjadi parade busana kecil-kecilan.

Bukan tak mungkin, ada pegawai yang memakai sarung seperti ujungnya dijahit pakai tekad, begitu tinggi sampai kakinya terlihat ingin ikut rapat. Ada juga yang memakainya terlalu longgar, sehingga setiap langkah adalah negosiasi antara kehormatan dan gravitasi bumi. Tapi, justru karena itu suasana kantor menjadi lebih segar, bisa jadi lucu, dan mengundang tawa. Dan ketegangan yang biasanya menghiasi suasana kantor, lekat dengan birokrasi jadi sedikit lebih cair.

Budaya dan mendorong produksi UMKM, inilah alasan yang mendasari kebijakan tersebut. Namun di balik itu, sangat mungkin publik bertanya: ‘’Apakah mengenakan sarung bisa mempercepat layanan, atau hanya mempercepat orang senyum melihat pegawai?’’ Yang jelas, sarung segera menjadi seragam baru ASN Pemprov Jateng yang bisa jadi menyenangkan mayoritas pegawai. Tetapi, jangan terlalu berharap dengan mengenakan seragam baru bisa menghapus antrean panjang atau sistem yang error. Seragam berubah, tetapi kinerja kadang tetap mengikuti ritme lama.

Disarungi

Sering kali, publik diberi pakaian budaya untuk menghangatkan suasana, sementara persoalan yang lebih dingin, mulai dari layanan lambat hingga sistem berbelit, tetap menunggu di sudut ruangan. Kebijakan bersarung bisa jadi manis, tetapi seperti halnya sarung, ia cuma menutup, tidak selalu memperbaiki. Karena itu yang terjadi kemudian bisa saja bukan hanya ASN yang bersarung, tetapi masyarakat pun seperti semuanya disarungi, dibungkus dalam kain simbolisme yang rapi dan berwarna.

Alasan pemberdayaan UMKM juga perlu dicermati. Memang benar, peningkatan permintaan sarung dapat memberikan dampak ekonomi pada pengrajin lokal. Namun dampaknya, jika dihitung secara jujur, kemungkinan tidak signifikan. UMKM tekstil membutuhkan dukungan yang jauh lebih struktural: akses modal, modernisasi alat, pelatihan desain, hingga kepastian pasar. Kebijakan sandang ASN hanya menyentuh permukaan dan berisiko menjadi justifikasi yang bersifat simbolis semata.

Mungkin benar bahwa budaya perlu dijaga. Mungkin benar juga bahwa mengenakan sarung memberi sentuhan lokal yang membuat kantor terasa lebih manusiawi. Namun di balik itu, kita juga berharap agar perbaikan kerja tidak hanya disarungi, disembunyikan, atau ditutupi oleh motif kotak-kotak yang fotogenik. Karena pada akhirnya, masyarakat yang paling tahu bahwa kain dapat menutupi tubuh, tetapi tidak dapat menutupi kinerja. Lipatan sarung bisa rapi setiap Jumat, tetapi jika layanan tetap kusut, maka publik akan tetap mengernyit.

Jadi, sarung tetaplah sarung: sederhana, fleksibel, ringan. Dan masalah-masalah birokrasi tidak selalu bisa dirampungkan dengan kain longgar. Selamat bersarung di hari Jumat. Semoga lipatannya rapi, serapi itu pula harapan publik terhadap kerja ASN. (*)

*Fikri Bumantara – Redaktur JavaNews.id