Ritual Siram Jalan: Sebuah Dedikasi Tanpa Tujuan

Bapak-bapak siram jalan (AI Generated/ Gemini)
Bapak-bapak siram jalan (AI Generated/ Gemini)

JAVANEWS.IDSIANG hari di Indonesia punya satu pemandangan tetap, matahari yang jaraknya berasa cuma sejengkal dari ubun-ubun, dan seorang bapak-bapak yang berdiri gagah di depan pagar rumah memegang selang air.

Bukan, si bapak bukan sedang menyiram tanaman atau mencuci mobil yang berdebu. Beliau sedang melakukan ritual paling absurd di muka bumi; menyiram jalanan.

Secara fisika, kita tahu kalau air ketemu jalanan yang panas cuma bakal menghasilkan dua hal, penguapan instan dan kelembapan yang bikin udara makin sumuk.

Tapi bagi bapak-bapak ini, menyemprotkan air ke jalanan adalah panggilan jiwa.

Padahal, lima menit setelah selang dimatikan, jalanan itu bakal kering lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi interaksi kimiawi apa pun di sana.

Fenomena “siram jalan” ini sebenarnya adalah mikrokosmos dari dinamika politik kita di sana.

Bapak-bapak ini adalah representasi paling jujur dari para pejabat publik.

Mereka sibuk melakukan sesuatu, menghabiskan sumber daya (dalam hal ini air dan tagihan PDAM), namun tujuannya tetap menjadi misteri ilahi bagi kita yang melihatnya.

Lihat saja bagaimana kebijakan di negeri ini seringkali mirip air selang di atas jalan panas.

Ada banyak “proyek strategis” yang dieksekusi dengan semangat membara, anggaran triliunan dikucurkan, tapi dampaknya ke masyarakat cuma lewat sebentar kayak uap air tadi. Habis itu? Ya hilang. Aspalnya tetap panas, rakyatnya tetap gerah.

Ambil contoh hobi bongkar pasang trotoar atau ganti warna seragam instansi setiap ganti pimpinan.

Secara visual memang terlihat ada “kerjaan”. Ada pergerakan. Ada air yang membasahi tanah.

Tapi kalau ditanya: “Ini fungsinya buat apa bagi kesejahteraan jangka panjang?”, jawabannya seringkali sama dengan jawaban si bapak penyiram jalan: “Ya biar nggak berdebu aja, Mas.”

Padahal kita tahu, debu itu akan kembali lagi dalam hitungan detik setelah ditiup knalpot motor lewat.

Di politik kita, yang penting itu bukan hasil akhir, tapi estetika kesibukan. Pejabat kita sangat suka terlihat sibuk.

Rapat koordinasi di hotel bintang lima, studi banding ke luar negeri yang hasilnya cuma oleh-oleh magnet kulkas dan gantungan kunci, sampai peluncuran aplikasi yang ujung-ujungnya error saat dipakai.

Ini persis seperti si bapak tadi. Beliau merasa sudah “berkontribusi” mendinginkan lingkungan, meski suhu global tidak bergeming satu derajat pun.

Yang penting tetangga lihat kalau dia orang yang rajin dan punya kepedulian sosial meski secara teknis yang dilakukan itu sia-sia belaka.

Mungkin, kita memang bangsa yang romantis. Kita lebih menghargai proses yang terlihat (nyemprot air) daripada substansi yang tak kasat mata (menghemat air).

Kita lebih senang melihat pejabat yang rajin masuk TV untuk “meninjau” lokasi bencana, daripada sistem pencegahan bencana yang bekerja dalam diam.

Akhir kata, mungkin kita tak perlu terlalu keras mengkritik bapak-bapak penyiram jalanan itu. Setidaknya, air yang mereka buang adalah air milik mereka sendiri. Masalahnya, kalau pejabat kita yang hobi “menyiram jalan” dengan kebijakan yang tak jelas juntrungannya, yang habis bukan cuma air di bak, tapi harapan kita semua.

Selamat siang, jangan lupa minum air putih, dan kalau melihat aspal panas, biarkan saja. Dia sudah dewasa, bisa mendinginkan diri sendiri lewat jalur alami.